Banner 1
Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental - Seroquel

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental – Kesepian karena pembatasan sosial, menyaksikan penyakit orang yang dicintai atau ketidakpatuhan orang terhadap aturan kesehatan dapat memicu masalah kejiwaan. Obatnya adalah dukungan dari keluarga dan orang lain.

Warga mengikuti kegiatan meditasi yang diselenggarakan komunitas meditasi Tergar Indonesia di Jakarta, Kamis (2/6/2020). Berlatih meditasi adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental Anda.

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

Varian SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang semakin menular dan mematikan di tahun kedua pandemi tidak hanya merugikan banyak warga ibu kota, Jakarta. Kesepian karena pembatasan sosial, menyaksikan penyakit orang yang dicintai atau ketidakpatuhan orang terhadap aturan kesehatan dapat memicu masalah kejiwaan.

Empat Upaya Tingkatkan Kesehatan Mental Bidan Di Masa Pandemi

Pada Rabu (28/07/2021), Aysia Kamaliya (25) mengunjungi psikiater di rumah sakit militer, tak jauh dari tempat tinggalnya di Jakarta Timur. Dia membutuhkan konseling karena dia mengalami gejala OCD yang pernah dia alami. Padahal, sejak April tahun ini, ia tak lagi membutuhkan obat.

Gangguan jiwa yang biasa dikenal dengan OCD (obsessive-compulsive disorder) ini ditandai dengan pikiran berlebihan yang menyebabkan perilaku berulang atau kompulsi.

Di depan dokter, dia tidak bisa menahan air matanya dan bertanya mengapa beberapa orang tidak mau memakai masker dan tidak hidup sendiri. Dokter terdiam setelah pertanyaan seperti itu. Dari wajahnya, Aysia menyadari betapa kaget dan sedih muncul di saat yang bersamaan.

Rinni Soegiharto, seorang psikolog, konsultan, fasilitator dan penulis, membahas kesehatan mental di masa pandemi dalam konsultasi virtual bertajuk “Sahabat Hati Indonesia”. Acara yang diprakarsai oleh harian “” dan keluarga lulusan Universitas Gaja Mad ini berlangsung selama empat hari berturut-turut dari tanggal 14 hingga 17 Juli.

Media Indonesia 8 Desember 2021

Ia mengatakan, kekhawatiran masyarakat tidak mengikuti protokol kesehatan muncul setelah dirinya terjangkit Covid-19 sebulan lalu. Ia mengaku lebih protektif terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama orangtuanya yang sudah lanjut usia. Ia bahkan khawatir orang lain bisa menularkan Covid-19.

“Ketika hasil tes PCR adik saya negatif, saya tidak yakin. Mengetahui ada orang lain yang datang ke rumah untuk sementara dengan masker dan menjaga jarak membuat saya gugup, meskipun saya tetap menyapa. kepada mereka sebanyak mungkin dan berbicara dengan mereka,” kata gadis itu, yang menyadari bahwa dia menderita OCD sejak berusia dua puluhan.

Pada Februari tahun lalu, survei Ikatan Psikiatri Indonesia menemukan dari 4.010 responden bahwa 2.598 orang atau 64,8 persen memiliki masalah kesehatan mental.

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

Untuk saat ini, kehadiran keluarga Aisha telah membantunya menahan pandemi lebih kuat dalam kondisi seperti ini. Ibu dan keluarganya selalu mengingatkannya untuk tidak merasa bersalah karena tidak mampu mengubah keadaan yang saat ini tidak terkendali.

Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan

Untuk menghilangkan pikiran yang tidak perlu, ia juga mencoba melakukan aktivitas fisik di rumah, meski melelahkan. “Saya juga banyak berdoa untuk lebih menguatkan diri karena saya percaya ada Tuhan yang lebih kuat menjaga semua orang,” kata pekerja swasta itu.

Meski ini klasik, Aisya percaya, perbanyak berdoa dan belajar percaya bahwa Anda tidak bisa mengendalikan diri 100 persen dengan sesuatu yang bisa membantu mengendalikan mental Anda. “Kalau tidak banyak, maka konsul akan kembali ke profesional. Jangan takut untuk menerima kenyataan itu jika Anda membutuhkan bantuan mereka lagi,” katanya.

Sandra (27), warga Jakarta lainnya, juga mengaku sering mengalami gangguan kecemasan dan sulit tidur selama dua bulan terakhir. Ia menghadapi masalah tersebut setelah sembuh dari Covid-19, yang memaksanya melakukan isolasi mandiri selama dua minggu.

“Awalnya saya juga mengira itu karena ketegangan. Kemudian saya mencoba melakukan penelitian untuk membuktikan hipotesis karena itu membuat saya semakin gugup. Saya jadi gampang tidur karena tiba-tiba insomnia, tapi seram,” ujar perempuan yang berprofesi sebagai guru TK ini.

Faktor Resiko Dan Pencegahan Bunuh Diri

Untuk mengatasi masalah tersebut, ia banyak mendapat bantuan dari para profesional kesehatan yang bersedia berbagi saran dan informasi tentang gangguan tidur dan kecemasan terkait pandemi di media sosial. Ia belajar mendisiplinkan tidur malamnya dan mengurangi penggunaan ponsel, terutama sebelum tidur, untuk mencegah insomnia.

Orang biasa seperti Anisa (32), yang menyadari banyak rekannya mengalami masalah kesehatan mental selama gelombang kedua pandemi di Indonesia, juga berempati. “Banyak teman survivor saya yang depresi, emosinya tidak stabil, jadwal tidurnya kacau,” ujarnya.

Menjadi tempat banyak teman, dia juga tahu banyak alasan yang menyebabkan masalah mental. Mulai dari proses kehilangan orang tercinta, rasa bersalah karena masih bekerja di luar rumah, hingga menunggu hasil tes Covid-19 yang bisa membuat stres.

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

“Saya jelas tidak tahu bagaimana membuat mereka pulih. Tapi sebagai teman, saya berusaha memastikan mereka atau teman-teman lain tidak merasa sedih selama pandemi ini dengan melakukan hal-hal kecil seperti berbagi informasi atau memposting sesuatu yang positif di media sosial,” ungkapnya.

Masa Bayi Dan Masa Kanak

Pada Februari tahun lalu, survei Ikatan Psikiatri Indonesia menemukan dari 4.010 responden bahwa 2.598 orang atau 64,8 persen memiliki masalah kesehatan mental. Dari jumlah tersebut, 65 persen mengalami gejala kecemasan dan 62 persen depresi akibat gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Hal itu disampaikan Ketua Psikiatri Jakarta Nova Riyanti Yusuf dalam siaran daring bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rabu (17/2). Dia juga mencatat bahwa beberapa dari mereka yang memiliki gangguan mental sakit dengan Covid-19.

PTSD, atau gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk pulih dari mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis selama pandemi, juga rentan terhadap kelompok mulai dari petugas kesehatan hingga jurnalis. Kondisi ini banyak ditemukan dalam penelitian di berbagai negara di dunia yang juga sedang menghadapi pandemi.

Jika memungkinkan, dukungan yang dapat diberikan kepada mereka yang mengalami PTSD harus bersifat individual karena setiap orang memiliki faktor biologis dan psikologis yang berbeda, walaupun penyebab gangguannya sama. Sementara itu, perhatian medis harus menjadi langkah selanjutnya jika gejalanya biasanya parah.

Apakah Saya Normal? Let’s Talk About Mental Disorder, Unromantically

Terapis memijat Orang Difabel Mental (ODGJ) yang menjalani perawatan di Balai Rehabilitasi Disabilitas Mental Yayasan Jamrud Biru, Jalan Mustikasari Gang Asem Sari II RT 003 RW 004 Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/11/2019) .

Rantai rumah sakit ormas Muhammadiyah juga melihat pentingnya dukungan psikologis bagi mereka yang menghadapi pandemi. Sekitar 50-70 profesional kesehatan mental membentuk tim untuk berbagi informasi tentang kesehatan mental.

Prasila Darwin, dokter spesialis psikiatri Rumah Sakit Islam Jelambar, Jakarta Barat, mengatakan pihaknya mulai melakukan sosialisasi sejak September 2020. Awalnya, kegiatan ini ditujukan untuk tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan melawan Covid-19. .

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

“Petugas kesehatan ini sering merasa gagal ketika tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada pasien Covid-19. Hal ini biasa terjadi pada petugas perawatan kritis. Untuk itu kami melatih mereka selama marathon di semua rumah sakit. Kami lapor bagaimana jika mereka mengalami masalah kesehatan mental, apa yang harus dilakukan jika ada teman seperti itu,” katanya.

Kesehatan Mental Remaja Pada Saat Pandemi

Tim juga baru memperluas layanannya ke masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar RS Muhammadiyah. Kekhawatiran publik tersebut muncul setelah gelombang kedua pandemi pada pertengahan tahun ini memakan korban yang semakin banyak. Prasila juga menyaksikan peningkatan jumlah penyintas Covid-19 yang datang ke rumah sakit tempatnya bekerja.

“Kami melakukan pelatihan daring tentang bagaimana mengatasi kecemasan ketika mendengar berita dan sebagainya. Jika mereka membutuhkan saran lebih lanjut, kami menawarkan forum di grup aplikasi perpesanan yang dapat mereka tindak lanjuti,” katanya.

Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mukti mengatakan, Kamis (29/7) di Markas PP Muhammadiyah Dakwah, Jakarta Pusat, pelayanan itu sama pentingnya dengan program vaksinasi yang kini digenjot untuk membantu penanganan Covid-19. pandemi. krisis.

“Kami memiliki program lain yang berkaitan dengan penyuluhan dan pelayanan langsung, baik berupa penyuluhan kesehatan maupun penyuluhan psikologis dan ketahanan mental-spiritual. Pandemi Covid-19 tidak hanya mengganggu kesehatan fisik tetapi juga mempengaruhi mental, spiritual dan berbagai aktivitas ekonomi,” jelasnya.

Rsup Dr. Sardjito

Analisis kesehatan jiwa regional Muhammadiyah Metropolitan PP Muhammadiyah fenomena utama epaper covid-19 dampak pandemi terhadap kesehatan jiwa pada masa pandemi Novi Riyanti Yusuf Sekretaris PTSD OCD PP Muhammadiyah Abdul MuktiHas #KawanManu pernah mencari informasi tentang “gangguan jiwa” melalui media sosial media? Dulu, hal-hal yang berkaitan dengan gangguan jiwa sering dikaitkan dengan stigma yang menakutkan dan berbahaya. Namun saat ini semakin banyak konten digital yang menggambarkan gangguan jiwa sebagai hal yang baik, menarik bahkan memiliki nilai estetika. Misalnya, gambar orang depresi yang menulis: “Saya pikir orang yang bunuh diri adalah bidadari yang ingin pulang.” Bahkan ada pengguna jejaring sosial yang langsung menulis bahwa tujuannya adalah untuk memiliki gangguan jiwa.

Bekerjasama dengan KJF Mental Health, Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya mengajak para peserta untuk berdiskusi mengenai edukasi untuk menderomantisasi gangguan jiwa.

Itu adalah bagian dari layanan masyarakat reguler yang didanai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bravijay. Tiga pembicara yang terlibat yaitu: Immanuela I Wulandari, S.Psi. (koordinator konsultan sejawat), Dita Rahmayani., S.Psi., M.A. (profesor madya psikologi di Braviaja University dan pakar kesehatan mental) dan Cleoputri Yousaini, M.Sc., Ph.D., psikolog (associate professor psikologi dan pakar di Braviaja University

Apa Saja Faktor Protektif Kesehatan Mental

(WHO, 2004), individu yang sehat jiwa juga ditandai dengan keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial serta mampu berkembang baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat. Kesehatan mental bukan hanya tentang tidak adanya gangguan mental pada orang, tetapi juga tentang bagaimana orang berpikir dan berperilaku dengan cara yang disesuaikan dengan diri mereka sendiri dan orang lain.

Cara Untuk Menghadapi Orang Tua Yang Terlalu Protektif

Jadi apakah semua orang bisa mengalami gangguan jiwa? Dita menjelaskan bahwa risiko gangguan jiwa setiap orang bergantung pada kombinasi antara faktor risiko dan faktor protektif. Faktor risiko meliputi, misalnya, faktor biologis, seperti riwayat keluarga dengan gangguan mental, faktor pengalaman, seperti masalah dalam hubungan anak-orang tua, atau hubungan teman sebaya yang buruk. Sedangkan faktor protektif dapat mengurangi faktor risiko tersebut, misalnya individu memiliki strategi pengaturan emosi yang adaptif, mengelola stres dengan baik, serta memiliki hubungan yang baik dengan orang tua dan teman sebaya.

You May Also Like

About the Author: wr5ku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *