Data Kesehatan Mental Remaja Indonesia 2020 – Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober tahun ini mengingatkan kita untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan menyebarluaskan edukasi dan solusi masalah kesehatan jiwa, terutama yang terjadi pada anak-anak sebagai salah satu kelompok paling rentan dalam pandemi.
Penanganan pandemi Covid-19 dengan membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat telah menyebabkan perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ini memiliki dampak yang signifikan pada berbagai sektor dan di semua kelompok umur.
Data Kesehatan Mental Remaja Indonesia 2020
Anak-anak adalah salah satu kelompok yang paling rentan dalam pandemi ini. Setidaknya ada lima aspek kehidupan anak yang terkena dampaknya, yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, perlindungan dan pengasuhan.
Masalah Kesehatan Remaja Indonesia
Jika kelima aspek kehidupan seorang anak terganggu dengan datangnya pandemi ini, jika tidak terpenuhi dengan baik akan berpengaruh pada kesehatan mentalnya, terutama pada masa remaja, saat anak memasuki fase penelitian jati diri.
Warga melintasi baliho seruan diakhirinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di pintu masuk kantor walikota di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (23/6/2021). Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak negatif terhadap perekonomian, tetapi juga kesehatan mental masyarakat. Tekanan psikologis masyarakat yang terdampak Covid-19 telah meningkatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pendidikan yang terpaksa dijalankan dari rumah melalui jaringan, selain tidak efektif juga menimbulkan kebosanan yang berdampak pada masalah psikososial anak karena tidak dapat berinteraksi dengan guru, teman dan lingkungan sosialnya.
Hal itu tergambar dalam dua survei yang dilakukan pada Agustus dan November 2020, di mana terjadi pergeseran kebosanan yang mencolok akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Alasan bosan dengan PJJ dan ingin belajar tatap muka berubah dari 6,5% di bulan Agustus menjadi 26,4% di bulan November.
Sambutan Ketua Umum Himpsi Pusat Dalam Rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Sulitnya mengakses layanan kesehatan dasar dan rentan terhadap gangguan kesehatan, termasuk ancaman paparan Covid-19, juga memicu perasaan cemas yang memengaruhi kesehatan mental anak.
Begitu pula dengan berkurangnya kesejahteraan anak akibat hilangnya pekerjaan orang tuanya akibat pandemi. Tanpa melupakan aspek perlindungan yang ditimbulkan oleh kasus-kasus seperti kekerasan, pelecehan seksual, pernikahan dini atau anak-anak yang dipaksa bekerja.
Kemudian, perpisahan mendadak antara anak dengan orang tua yang meninggal akibat Covid-19 yang menyebabkan masalah pengasuhan dapat menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Pada akhirnya, kesehatan mental anak terpengaruh.
Sebelum pandemi, masalah psikologis anak dan remaja menjadi “PR” pemerintah yang belum terselesaikan. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menunjukkan hal itu.
Peringati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Rskj Soeprapto Gelar Sosialisasi
Data prevalensi gangguan mental-emosional yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1 persen dari total penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Gangguan depresi ini mulai terjadi sejak usia remaja (15-24 tahun) dengan prevalensi 6,2 persen.
Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi dan mental anak karena cenderung mengalami depresi dan kecemasan. Hal itu bisa dipastikan dari hasil survei What’s Up with Covid-19 (AADC-19) 2020 yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Sabtu (9/11/2021) mengeluarkan program bantuan khusus untuk anak dan perempuan kepala keluarga yang terdampak Covid-19 di Provinsi Bali sebagai respon atas dampak pandemi Covid-19 terhadap anak dan wanita di Indonesia. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga (kiri) mengunjungi rumah penerima bantuan khusus bagi perempuan kepala keluarga yang terdampak Covid-19 di Kota Denpasar.
Akibatnya, 24% anak laki-laki mengalami gejala depresi selama tahun pertama pandemi, 14% di antaranya perempuan. Gejala emosional yang sering dialami antara lain depresi 26 persen, mudah marah 38 persen, sering menangis 20 persen, dan sedih 42 persen. Oleh karena itu, 42 persen menyalahkan diri sendiri dan 31 persen tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.
Perhatikan Kesehatan Mental Remaja Saat Pandemi Covid 19
Di tahun kedua pandemi, kondisi kesehatan mental anak dan remaja tidak banyak berubah, dan pembatasan di hampir semua area pergerakan dicabut akibat pandemi yang sedang berlangsung. Masa 20 bulan sangat berat bagi anak-anak dan remaja yang sedang tumbuh dewasa dan membutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri.
Menurut laporan Unicef terbaru berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: Mempromosikan, melindungi, dan merawat kesehatan mental anak-anak, diperkirakan lebih dari 1 dari 7 anak muda berusia 10-19 tahun di seluruh dunia hidup dengan diagnosis penyakit mental.
Besarnya dampak pandemi terlihat dari hasil pertama survei internasional terhadap anak muda di 21 negara yang dilakukan oleh Unicef dan Gallup. Akibatnya, satu dari lima anak berusia 15-24 tahun mengatakan sering merasa tertekan atau kurang berminat untuk beraktivitas.
Survei tersebut juga menemukan bahwa hampir satu dari tiga anak muda di Indonesia (29%) melaporkan bahwa mereka sering merasa tertekan atau kurang berminat melakukan apapun.
Survei: 68% Orang Depresi Akibat Covid 19
Peringkat Indonesia berada di urutan ketiga dari 21 negara yang disurvei. Lebih tinggi dari rata-rata 21 negara (19%). Ini menjadi catatan penting dan “alarm” mengingat generasi muda adalah masa depan bangsa.
Sebagai generasi penerus bangsa yang berstatus pelajar saat ini, kondisi kesehatan mental mereka harus dikelola dan dijaga dengan baik karena akan mempengaruhi kesehatan fisik dan produktivitas mereka.
Menurut situs Mentalhealth.gov, kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial yang memengaruhi cara Anda berpikir, merasakan, dan bertindak.
Policy Research Center Kemdikbud juga melakukan pemetaan kondisi psikologis mahasiswa akibat pandemi bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dengan melakukan survei terhadap 15.840 mahasiswa pada November 2020.
Psychological Impact Of Online Learning During The Covid 19 Pandemic: A Case Study On Vocational Higher Education
Walikota Bogor Bima Arya saat bertemu dengan saudara-saudaranya di Kampung Awan, Kelurahan Genteng untuk menyalurkan sembako dan memberikan bantuan pendidikan. Kedua bersaudara itu adalah contoh anak-anak yang terpengaruh secara sosial dan psikologis. Di Kota Bogor tercatat ada sekitar 300 anak yang terkena dampak pandemi karena orang tuanya meninggal dunia, dan menjadi beban berat bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Survei yang dilakukan di 24 dewan/kota di 12 provinsi ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana kesulitan mental-emosional dan kesejahteraan psikologis siswa sebagai individu.
Hasil penilaian menunjukkan bahwa masih ada 16,6 persen siswa dengan status abnormal yang mengalami kesulitan mental-emosional dan 13,5 persen yang kesejahteraan psikologisnya berada pada kategori rendah selama pandemi.
Temuan ini diperkuat dengan data Riskesdas tahun 2018 yang menunjukkan 9,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental-emosional.
Penyuluhan Penggunaan Sosial Media Secara Bijak Sebagai Upaya Kesehatan Mental Remaja Terdidik Sman 2 Brebes
Berdasarkan gambaran melalui kedua data tersebut, pada masa pandemi gangguan mental emosional pada penduduk usia sekolah cenderung meningkat. Selain itu, dilaporkan juga bahwa siswa perempuan cenderung mengalami kesulitan psikoemosional yang lebih besar dan kesejahteraan psikologis yang lebih rendah daripada laki-laki, sejalan dengan hasil studi KPPPA, di mana gejala depresi lebih banyak dialami oleh responden perempuan.
Dari kelima aspek untuk mengukur kesulitan mental-emosional, terungkap bahwa aspek kesulitan emosional dan perilaku paling banyak dialami oleh responden yaitu sebesar 24,5% dan 13,4%. Setelah masalah dengan hubungan teman sebaya (9,8%), hiperaktif (5,2%) dan perilaku prososial (1,6%).
Sedangkan dari aspek pengukuran kesejahteraan psikologis, tampaknya aspek koping lingkungan lebih banyak mengalami masalah, seperlima responden mengakuinya. Ini berturut-turut diikuti oleh aspek pengembangan diri, hubungan positif, penerimaan diri, tujuan hidup dan aspek otonomi.
Munculnya perasaan tidak menyenangkan, seperti perasaan sedih, marah, cemas, kurang semangat, sebagaimana ditemukan dari kajian AADC-19 KPPPA, merupakan bentuk manifestasi kesulitan mental-emosional yang tentunya akan mengganggu aktivitas. .
Hari Kesehatan Mental Momentum Tingkatkan Akses Kesehatan Jiwa
Tim Psikologi Polri melakukan trauma healing untuk anak korban Topan Seroja di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Sabtu (17/4/2021).
Pada tingkat yang lebih serius, kesulitan mental dan emosional dapat berkembang menjadi gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Kondisi kesehatan mental anak-anak di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai hasil survei, menunjukkan bahwa selama pandemi, kesehatan mental beberapa anak yang berstatus pelajar perlu mendapat perhatian dan menjadi ancaman jika terabaikan.
Terlebih lagi, banyak kasus masalah kesehatan mental tidak terdeteksi dan banyak orang bahkan tidak menyadarinya, sehingga menjadi fenomena “puncak gunung es”.
Menjaga Kesehatan Mental Remaja
Proses pembelajaran di masa pandemi diharapkan tidak hanya terpaku pada hasil akademik. Pembelajaran tatap muka yang terbatas menjadi peluang bagi guru dan sekolah untuk memantau perkembangan kesehatan mental siswa setelah menjalani pembelajaran jarak jauh.
Di pihak pemerintah sudah saatnya menetapkan kebijakan yang mendorong investasi dan meletakkan landasan yang kuat bagi kesehatan jiwa, khususnya bagi generasi muda sebagai aset bangsa. Rapuhnya sistem pendukung kesehatan jiwa perlu dibenahi, misalnya dengan menambah anggaran kesehatan jiwa yang terbatas.
Yang terpenting adalah komitmen semua pihak untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran, literasi dan kepedulian untuk melindungi dan menjaga kesehatan mental generasi agar dapat mencapai potensi maksimalnya. (Litbang)
Hari penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa mb dewi pancawati wmhd tangani kesehatan jiwa di masa pandemi hari kesehatan jiwa sedunia kesehatan jiwa anak Cegah Covid19 Kembali: Jaga jarak, cuci tangan, pakai masker dan berdoa Selamat datang di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit ) Jakarta
Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi, Stressor, Dan Strategi Koping Lansia Terhadap Stres Lansia Selama Pandemi Covid 19
Tahukah Anda bahwa menjaga kesehatan mental sangat penting bagi kita? Nah, sekarang kita akan melihat infografik tentang kesehatan mental di masa pandemi.
Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental jutaan orang di seluruh dunia, baik yang terpapar virus secara langsung maupun yang tidak terpapar.
Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan bahwa masyarakat saat ini masih berjuang untuk mengendalikan penyebaran virus Covid-19, namun dampak dari pandemi masih terus menyebar berupa perasaan cemas, takut, tekanan mental akibat isolasi, physical dan social distancing . pembatasan kondisi dan ketidakpastian.
Riset Kesehatan 2020, menunjukkan lebih dari 4.010 ribu orang Indonesia menderita gangguan jiwa antara April dan Agustus. Menurut sistem, 71% penduduk perempuan juga mengalami gangguan jiwa, dan 29% penduduk laki-laki mengalami gangguan jiwa.