Kasus Kesehatan Mental Anak – Saat ini, kesehatan jiwa merupakan masalah yang belum dapat diatasi sepenuhnya baik secara global maupun nasional. Selain itu, pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak buruk seperti peningkatan masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. Survei Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta orang di atas usia 15 tahun mengalami gangguan mental-emosional, dan lebih dari 12 juta orang di atas usia 15 tahun mengalami depresi (Rokom, 2021). Data menunjukkan bahwa negara Indonesia gagal menangani masalah kesehatan mental secara memadai dan kehadiran pandemi telah meningkatkan jumlah orang yang menderita gangguan jiwa, yang dapat berdampak negatif jika dibiarkan. Pandemi covid-19 telah mempengaruhi perekonomian masyarakat, misalnya banyak penutupan usaha dan pengurangan karyawan secara langsung mempengaruhi perekonomian, tetapi juga dalam menghadapi segala situasi selama pandemi ini dengan akal sehat.
Kesehatan mental harus dipahami sebagai keadaan di mana setiap orang dapat mengatasi tantangan hidup, menyadari potensinya dengan bekerja secara produktif dan berkontribusi terhadap lingkungan. Kesehatan mental harus dijaga baik secara fisik maupun mental. Yang mengkhawatirkan baik orang dewasa maupun remaja saat ini adalah kelompok yang rentan mengalami gangguan jiwa atau depresi. Ada banyak faktor yang memengaruhi kesehatan mental, seperti faktor genetik, perubahan hormonal, pengalaman traumatis, romansa, persahabatan, keluarga, dan tekanan hidup. Gejala yang muncul adalah mudah tersinggung, perasaan putus asa, rendah diri, kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan. Setiap orang harus menyadari kesehatan mental untuk mencegah berbagai efek negatif.
Kasus Kesehatan Mental Anak
Orang tua atau masyarakat sekitar bahkan otoritas kesehatan memiliki peran dalam mendukung dan memantau orang-orang dengan masalah kesehatan. Sosialisasi kesehatan jiwa juga harus dilakukan di desa, sekolah dan layanan masyarakat. Untuk mengurangi jumlah orang yang menderita sakit, membantu mereka yang membutuhkan harus dilakukan sebanyak mungkin. Melalui peran yang berbeda ini, kami berharap orang dewasa dan remaja akan belajar pentingnya menjaga kesehatan mental.2 (SARSCoV-2). SARS-CoV-2 adalah jenis baru dari coronavirus yang belum teridentifikasi sebelumnya pada manusia. Peningkatan kasus COVID-19 sangat cepat dan menyebar ke berbagai negara dalam waktu singkat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, per 10 Desember 2021, terdapat 267.865.289 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di seluruh dunia, termasuk 5.285.888 kematian (WHO, 2021). Indonesia melaporkan kasus pertamanya pada 2 Maret 2020 (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
COVID-19 berdampak besar pada kesehatan mental. Penelitian telah menunjukkan bahwa 13,7% hingga 34,7% pasien dengan COVID-19 melaporkan gejala masalah kesehatan mental setelah diagnosis (Kong et al., 2020; Varatharaj et al., 2020). Bukan hanya infeksi virus yang secara fisik menyerang pasien COVID-19. Setelah sembuh dari infeksi virus ini, banyak dari mereka menghadapi berbagai masalah psikologis (Kominfo Jawa Timur, 2021). Masalah psikologis yang mereka hadapi juga bervariasi dari ringan hingga berat.
Beberapa gangguan kesehatan mental telah dilaporkan setelah orang dirawat karena COVID-19. Gangguan kesehatan mental, termasuk kesulitan tidur, masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi dan kehilangan ingatan, gangguan kecemasan,
(ADL) juga ditemukan sebagai konsekuensi dari penyintas COVID-19 (Kholila dan Hamid, 2021). Kematian akibat COVID-19 dan tindakan isolasi dapat memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Angka kematian yang tinggi dan isolasi yang berkepanjangan di daerah tersebut diketahui menyebabkan depresi, kecemasan, ketakutan berlebihan, dan perubahan pola tidur masyarakat (Aslamiiah & Nurhaiati, 2021). Ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental orang tersebut, tetapi juga kondisi fisik.
Kecemasan pada pasien setelah COVID-19 dapat berasal dari ketakutan akan kambuh, ketakutan menularkan virus ke anggota keluarga lainnya, dan ketakutan akan kematian akibat COVID-19 (Lebrasser et al.). ., 2021.). Kecemasan akan masa depan juga dirasakan pada pasien pasca COVID-19 (Moradi et al., 2020). Selain itu, pasien dengan infeksi multipel atau gejala memiliki masalah psikologis seperti kecemasan dan tingkat stres jangka panjang dibandingkan dengan pasien lain tanpa gejala (asimtomatik) atau gejala ringan (Moradi et al., 2020). Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa pada bidang perasaan (afektif, mood), dimana salah satunya memiliki gejala seperti mood rendah, sedih dan kehilangan gairah hidup (Nurmala et al., 2020). Pasien pasca-COVID-19 yang mengalami kecemasan dapat mengalami depresi (Moradi et al., 2020). Depresi yang dialami dapat menyebabkan kesedihan, yang membuatnya lebih mudah menangis. Faktor risiko depresi pada pasien pasca COVID-19 antara lain kurangnya hubungan sosial, yang menyebabkan pasien kehilangan dukungan psikologis dari keluarga dan teman, yang pada gilirannya menyebabkan stres dan trauma psikologis (Moradi et al., 2020). Depresi pada pasien pasca COVID-19 mungkin karena stigma dan penolakan, serta gaya hidup yang membosankan selama karantina (Hidaya, 2021). Depresi pada pasien setelah COVID-19 menyebabkan gangguan tidur, kecemasan, dan kelelahan (Vu et al., 2020).
Layanan Bimbingan Konseling Umm Atasi Masalah Kesehatan Mental
Stres merupakan salah satu dampak psikologis pasien pasca COVID-19. Pasien pasca-COVID-19 yang mengalami stres biasanya adalah mereka yang sakit atau bergejala parah (Chamberlain et al., 2021). Stres pasca COVID-19 pada pasien dapat disebabkan oleh peristiwa traumatis, kehilangan orang yang dicintai, dan stigma sosial negatif yang mendistorsi pikiran pasien pasca COVID-19 (Moradi et al., 2020). Kondisi tersebut membuat pasien pasca Covid-19 cemas dan gelisah (Hidaya, 2021).
Masalah kesehatan mental berbeda untuk anak-anak, orang dewasa, dan orang dewasa yang lebih tua dengan atau tanpa penyakit kronis atau riwayat penyakit mental. Secara keseluruhan, prevalensi masing-masing gangguan adalah 31,4% untuk depresi, 31,9% untuk kecemasan, 41,1% untuk stres, dan 37,9% untuk insomnia. Selain itu, pasien yang terinfeksi COVID-19 dan petugas kesehatan yang merawatnya juga memiliki prevalensi depresi, kecemasan, agitasi, dan insomnia yang tinggi. Cai (2020) memperkirakan faktor penyebab gangguan jiwa pada pasien Covid-19 adalah virus yang sangat mudah menyebar, kondisi fisik pasien yang terinfeksi menurun drastis dalam waktu singkat, dan kurangnya obat antivirus yang belum diketahui efektivitasnya. . Selain itu, arus informasi yang sangat cepat dan tidak terkendali menyebabkan kecemasan yang berlebihan dan ketakutan yang tidak perlu pada masyarakat. Asumsi yang tidak jelas dan berbeda, komplikasi yang tidak terduga dan duplikasi menimbulkan keraguan tentang keakuratan informasi yang diberikan (Moradi et al., 2020). Selain itu, jarak fisik, jarak sosial, dan pembatasan karantina menciptakan perasaan tidak berdaya dan kesepian. Ini mengarah pada suasana hati yang buruk. Selain itu, beban psikologis dapat memberikan dampak pada sektor ekonomi, penurunan pendapatan, dan pemutusan hubungan kerja. Dia menyesalinya dan khawatir akan menyebarkan virus ke orang yang dia cintai serta orang yang dia cintai. Adanya stigma juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis.
Aslamiyah, S. dan Nurhaiati. (2021). Dampak Covid-19 terhadap perubahan psikologis, sosial dan ekonomi pasien Covid-19 di Desa Dendang, Langkat, Sumatera Utara.
Chamberlain, S. R., Hibah, J. E., Trender, W., Hellier, P. dan Hampshire, A. (2021). Gejala gangguan stres pascatrauma pada penyintas COVID-19: survei berbasis populasi online.
Krisis Kesehatan Mental Jadi Ancaman Bagi Ekonomi Filipina
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). tahun
Lebrasseur, A., Fortin-Bédard, N., Lettre, J., Raymond, E., Bussières, EL, Lapierre, N., Faieta, J., Vincent, S., Duchene, L., Ouellet, L. , M.K., Gagnon, E.
Turini, A., Lamontagne, M. E., dan Routhier, F. (2021). Dampak pandemi COVID-19 pada lansia: gambaran singkat.
Moradi, I., Mollazade, F., Karimi, P., Hossingholipour, K. dan Bagayi, R. (2020). Tekanan psikologis pada penyintas krisis COVID-19: studi kualitatif.
Efektivitas Psikoterapi Islam Untuk Meningkatkan Kesehatan Mental: Sebuah Studi Meta Analisis
J., Xiong, W., Lang, Q., Tao, Y., Lin, H., Shi, G., Lu, L., Pan, L., Xu, L., Zhou, H., Lagu, I., … Du, S. (2020). Status kesehatan mental dan faktor-faktor yang mempengaruhi yang terkait di antara para penyintas COVID-19 di Wuhan, Cina. Selamat datang di website resmi (Ikatan Psikiatri Indonesia). Kemajuan dalam ilmu dan teknologi kedokteran telah memungkinkan dokter pada umumnya, dan psikiater pada khususnya, untuk memberikan layanan perawatan kesehatan profesional.
ASOSIASI DOKTER SPESIALIS PSIKIATRI INDONESIA DR. Dengan baik. Moh. Adib Humaidi., Kepala Sp.OT IDI PhD Pusat Hari Ini 23 Februari 2023 Kami berharap ini akan lebih bermanfaat bagi orang lain. #kesehatanmental #sehatmental #psikiater #dokter #dokterspecialis # #vho #dokterjiva #selamat #go https://vvv.instagram.com/reel/CpAdvtuplcJ/?igshid=MDJmNzVkMjI=
Kemarin, pemerintah mengumumkan adanya penyakit corona di Indonesia. Segera setelah itu, muncul berbagai reaksi di masyarakat dan setiap orang yang terpaksa mengikutinya: masker, disinfektan, membeli makanan, banyak orang memakai masker di depan umum, dll. Kecemasan adalah respons emosional alami terhadap situasi tak terduga yang dapat menimbulkan ancaman.
Kecemasan mendorong tubuh untuk dengan cepat mengadopsi pertahanan untuk memastikan keamanan. Reaksi emosional yang mengganggu ini positif dan baik jika dirasakan dan ditanggapi dengan tepat. Namun jika responnya berlebihan atau reaktif, maka menimbulkan gangguan kecemasan (ANSIETAS) yang ditandai dengan gejala sebagai berikut:
Menjaga Kesehatan Mental Remaja
1. Sikap mental reaktif (reaktif) yang ditandai dengan reaksi cepat, tegang, agresif terhadap situasi yang timbul dan menimbulkan kecemasan, ketakutan.
2. Responsive Sikap mental ditandai dengan sikap tenang, terukur, menentukan apa yang perlu dilakukan dan merespon secara tepat dan wajar. Jika seseorang memilih untuk menjadi REAKTIF daripada RESPONSIF, hal itu dapat mempengaruhi kehidupan mentalnya dan berujung pada gangguan kecemasan (anxiety). Ada fase-fase dari sikap mental yang sesuai:
2. Evaluasi: periksa fakta yang benar dari sumber yang dapat dipercaya, hindari informasi palsu, berlebihan yang menimbulkan kekhawatiran berlebihan.
4. Refleksi: Merefleksikan apa yang telah dilakukan, menilai situasi saat ini dan mempersiapkan tanggapan selanjutnya.
Heboh! Kasus Pembunuhan Oleh Remaja, Ini Tanggapan Pakar Psikologi Unair
Kita semua takut dan cemas menghadapi virus corona ini tapi,